Argumen-argumen tentang Tuhan
Argumen-argumen
tentang Tuhan
A.
Pendahuluan
Dalam
pembahasan yang akan didikusikan dalam pembahasan ini ialah tentang argumentasi-argumentasi tentang Tuhan. Sebelum itu, sedikit penulis
menguraikan tentang apa yang kita maksud dengan Tuhan ?.
Dalam tradisi Judea-Kristen Tuhan biasanya
dicirikan oleh apa yang biasa kita sebut sebagai “tiga omni”, omni
menjadi awalan yang bermakna “maha”. Pertama,
Tuhan itu omnipotent atau mahakuasa. Ini berarti Tuhan bisa
melakukan segalanya. Kedua, Tuhan
diterima sebagai omnibenevolent atau mahakasih. Dalam kalimat pujian
yang masyhur “Tuhan adalah Cinta”. Karena itu tidak ada batas bagi kasih Tuhan. Tuhan tidak akan mengizinkan
siapapun untuk menderita karena itu
diluar cinta. Ketiga, Tuhan diterima sebagai omniscient atau mahatahu.
Tidak seorang pun bisa bersembunyi dari
Tuhan karena Tuhan bisa melihat segalanya dan mengetahui segalanya, termasuk
pikiran anda yang paling mendalam,
paling pribadi. Tuhan adalah Saudara Tua[1]
yang pokok.[2]
Selanjutnya
mempertanyakan persoalan tentang keberadaan atau eksistensi Tuhan bagi orang
beriman dapat dianggap sebagai suatu perbuatan
yang tercela. “Apakah tuhan itu ada ?” adalah suatu pertanyaan yang kita anggap hanya patut dikemukakan oleh orang ateis atau agnostic, orang tak
beriman atau oleh skeptik saja, bukan oleh orang beriman atau kepercayaan
kepada Tuhan YangMaha Esa. Kenyataan membuktikan bahwa banyak juga orang beriman yang dalam keadaan
tertentu (dirundung malang, mengalami penderitaan yang berat bertubi-tubi,
kecewa dalam hidup dan sebagainya) baik secara terbuka atau dalam hati
mengajukan pertanyaan ini sebagai suatu pertanyaan yang esksistensial. Demikian
juga banyak para ilmuwan dan kaum intelektual baik secara terus terang ataupun
secara klandestin[3]
mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan.[4]
Seperti
yang ditawarkan oleh Blaise Pascal (1632-1662) menawarkan satu jenis
argumentasi yang sangat berbeda yang berusaha untuk membenarkan kepercayaan
pada Tuhan dalam ketiadaan bukti atau bukti yang meyakinkan. Argumentasinya
dikenal sebagai “Taruhan Pascal” (Pascal’s Wager), karena ia
berupaya menunjukkan bahwa percaya pada Tuhan seperti memasang taruhan,
anda bodoh jika tidak melakukannya. Dasar argumentasinya adalah kita memiliki
dua kemungkinan: Tuhan ada atau Tuhan tidak ada.[5]
Bagi
rohaniawan ataupun teolog, pertanyaan itu entah dari manapun (siapapun)
datangnya, tidak perlu dirisaukan, sebab konsep tentang Tuhan itu memang
problematic secara filosofis, maupun secara agamani, khususnya bagi pandangan
yang monoteistik. Istilah yang sering dipakai dalam pembicaraan tentang
kepercayaan kepada Tuhan biasanya diambil dari istilah bahasa Yunani theos
(berarti Allah) atau dari bahasa latin dues yang juga berarti Allah. Ateisme
adalah suatu kepercayaan atau aliran pandangan yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Agnotisisme
adalah suatu aliran pandangan yang menganggap bahwa tidak ada cukup alasan atau
bukti untuk mengakui ataupun menolak
keberadaan Tuhan. Deisme adalah aliran pandangan yang mengakui adanya
Tuhan yang pada waktu yang lampau menggerakkan dunia (universe) ini dan telah
meninggalkannya (universe) sehingga dunia itu bergerak sendiri dengan
hukum-hukum alamnya.[6]
Teisme
adalah aliran pandangan yang
secara tegas percaya akan adanya Tuhan (deity), yang pada umumnya
berarti percaya pada Tuhan yang bersifat
personal. Politeisme adalah aliran pandangan yang pada umumnya terdapat
dikalangan orang-orang primitive, yang
percaya adanya banyak ilah/dewa-dewa
pribadi yang masing-masing menguasai bidang hidup tertentu (misalnya dalam
Pantheon Yunani: Poseidon adalah dewa laut, Ares adalah dewa perang, Aphrodite
adalah dewa cinta dan sebagainya).
Henoteisme
adalah aliran pandangan yang mempercayai adanya banyak
ilah/dewa-dewa tetapi masing-masing pemeluknya membatasi kesetiannya pada satu
ilah/dewa tertentu, biasanya dewa suku bangsanya. Panteisme adalah
kepercayaan atau aliran pandangan yang menganggap bahwa Tuhan itu identik
dengan alam atau dunia secara keseluruhan. Monoteisme adalah aliran
pandangan atau kepercayaan bahwa hanya ada satu Tuhan saja (satu Supreme Being)
yang bersifat personal (pribadi), yang menuntut kesetiaan
mutlak dari makhluk umatnya. Dialah Sang
Pencipta, Sang Khalik yang mempunyai sifat-sifat ilahi yang superlatif.[7]
Untuk
lebih memahami masalah ini, kita rujuk kepada buku IDBA Jilid I, bahwa dalam buku
ini dijelaskan ada agama yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut
oleh masyarakat yang meninggalkan fase
keprimitian. Agama-agama yang terdapat dalam masyarkat primitif ialah
dinamisme, animisme dan politeisme atau henoteisme sedangkan dalam masyarakat
yang sudah maju agama yang dianut ialah monoteisme.[8]
B.
Pembahasan
Dalam
filsafat Ketuhanan yang menjadi pokok permasalahan adalah konsep tentang Tuhan
ini, khususnya konsep tentang Tuhan dari aliran monoteisme. Persoalan pokoknya
adalah tentang keberadaan atau
eksistensi Tuhan. Apakah buktinya kalau Tuhan itu ada ?
Berikut
ini beberapa argumentasi filosofis yang pernah dikemukakan sebagai usaha
pembuktian tentang keberadaan eksistensi Tuhan Allah.
Dalam
filsafat, khususnya filsafat agama mengajukan beberapa argument atau dalil
tentang adanya Tuhan. Salah satu diantara argumen-argumen tradisionil yang
diberikan filsafat agama ialah argument ontologis
(ontos, sesuatu yang berwujud, ontologi, teori/ ilmu tentang
wujud tentang hakikat yang ada). Argumen tentang ontologis tidak banyak
berdasar pada alam nyata, tetapi argumen ini berdasarkan pada logika
semata-mata.[10]
Argumentasi
ontologis bertitik tolak dari pandangan
bahwa menurut kenyataan, tiap-tiap orang
mempunyai pengertian tentang
Tuhan. Oleh karena itu Tuhan pasti ada. Hal
ini dikemukakan oleh Plato, menurut Plato segala sesuatu yang ada dalam
realita atau kenyataan di dunia ini sebenarnya telah ada lebih dulu dalam
pengertian atau dalam dunia ide. Realita dalam dunia nyata itu benar
karena sesuai dengan ide yang terdapat
di dalam dunia ide. Ada ide yang mutlak, yaitu
ide yang merangkum segala ide. Ide yang mutlak itua dalah Tuhan. Oleh karena itu mempunyai
realita dalam dunia kenyataan, tentu ide yang mutlak itu pun mempunyai realita dalam
dunia nyata.[11]
Idea-idea bukan berarti terpisah,
tanpa ada hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi semuanya
bersatu dalam sebuah idea tertinggi yang diberi nama idea kebaikan atau The Absolute
Good, yaitu Yang Mutlak Baik. Yang Mutlak Baik itu adalah sumber, tujuan dan sebab dari segala yang
ada. Yang Mutlak Baik itu disebut juga Tuhan. Dengan teori idea ini Plato
mencoba untuk membuktikan bahwa alam bersumber pada sesuatu yang gaib yang bernama
The Absolute Good atau yang Mutlak Baik.[12]
Pada
zaman pertengahan, seorang teolog terkemuka Anselmus (1033-1109)
mengemukakan pendapat bahwa Tuhan itu
“adalah sesuatu (Being) yang terbesar (paling sempurna) dan tidak ada yang
melebihi kebesaran atau kesempurnaanya”. Artinya tidak ada sesuatu yang dapat
dipikirkan yang lebih sempurna dari Tuhan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa ada
dua macam keberadaan (eksistensi), yaitu
keberadaan hanya dalam pikiran dan keberadaan secara nyata atau dalam realita.
Ada sesuatu yang hanya mempunyai
keberadaan dalam pikiran, ada sesuatu yang sekaligus juga mempunyai
keberadaan dalam realita di samping keberadaan dalam pikiran. Kalau Tuhan itu
hanya ada dalam pikiran saja dan tidak mempunyai keberadaan dalam realita, maka
itu berarti ada sesuatu yang lebih sempurna dari Tuhan dan itu tidak mungkin.
Jadi, Tuhan itu pasti ada (mempunyai
eksistensi). Selain itu, Anselmus juga mengemukakan pendapat bahwa Tuhan itu
tidak saja mempunyai eksistensi tetapi Tuhan itu sedemikian rupa sehingga tidak
mungkin dapat dipikirkan bahwa Ia itu
tidak ada (tidak eksist).
Argumentasinya
demikian. Karena Tuhan didalam kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu tidak
dibatasi dalam atau oleh waktu maka kemungkinan bahwa Ia itu “pernah menjadi ada”
dan bahwa Ia “akan Pernah berhenti dari keberadaan” itu ditiadakan. Demikian
juga ketidakberadaan-Nya (non-existence) itu tidak mungkin. Tuhan itu berada
pada diri-Nya sendiri (self exixtence atau a se esse).[13]
Jadi,
sesungguhnya “sesuatu yang paling sempurna dan tidak ada sesuatu yang lebih
sempurna dari pada-Nya dapat dipikirkan, tetapi tidak dapat dipikirkan sebagai
tidak ada (not existing). Kelamahan dari pandangan ini terlatak pada asumsi
pertamanya, yaitu bahwa Tuhan itu adalah sesuatu yang paling sempurna yang
tidak ada sesuatu yang lebih sempurna daripadanya dapat dipikirkan. Hal
ini belum dan tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian argumentasi ontologis ini
bukanlah suatu pembuktian tentang keberadaan Tuhan. Kita harus mau menerima
asumsi pertamanya dulu baru dapat
menerima argumentasi selanjutnya. Jadi, kita harus mau menerima definisi Tuhan
sedemikian itu sebelum kita dapat menerima argumentasi lanjutannya.
Pembuktian semacam ini tidak dapat meyakinkan orang ateis tetapi hanya dapat memperdalam pengertian orang yang
memang sudah percaya bahwa Tuhan itu ada
dan Tuhan itu paling sempurna dan sebagainya.[14]
Argumentasi
lain yang dikemukakan Oleh Rene Descartes. Ia menyatakan bahwa ide keberadaan
(eksistensi) itu secara analitis tercakup dalam konsep tentang Tuhan.
“keberadaan’’ itu merupakan suatu
predikat (atribut) Tuhan, sebagaimana mempunyai tiga sudut itu adalah
predikat (atribut) dari suatu segi tiga.
Secara analitis, mempunyai tiga sudut itu adalah bagian dari konsep
(pengertian) segi tiga. Dengan demikian
predikat atau atribut itu merupakan bagian mutlak dari definisi suatu konsep.
Keberadaan adalah bagian dari definisi
tentang Tuhan. Jadi Tuhan itu tentu
mempunyai eksistensi. Tuhan itu ada pandangan sedemikian itu dibantah oleh Immanuel
Kant yang mengatakan bahwa memang benar apa yang secara analitis itu betul
adalah apabila memag ada segi tiga, maka tentu mempunyai tiga sudut dan apabila
ada sesuatu yang sempurna tak terbatas,
tentu sesuatu itu mempunyai eksistensi. Selanjutnya Kant mengatakan bahwa kalau kita mengakui
adanya suatu segi tiga tetapi menolak bahwa segi tiga itu mempunyai tiga sudut, itu berarti suatu pertentangan diri (self contradiction). Tetapi kalau kita menolak keberadaan segi
tiga dan sekaligus menolak ketiga sudutnya,
maka tidak ada pertentangan diri.[15]
Demikian
juga halnya dengan konsep tentang sesuatu yang secara mutlak harus ada (absolutely
necessary being). Yang dimasud di sini ialah konsep tentang Tuhan sebagai
sesuatu yang secara mutlak harus ada. Kalau keberadaan (eksistensi) itu
merupakan predikat atau atribut yang dapat dimasukkan sebagai bagian dari
definisi tentang Tuhan seperti dikemukakan oleh Anselmus maupun Descartes maka
argumentasi ontologism ini sah (valid). Namun keberadaan (eksistensi) itu
mempunyai fungsi logis yang berbeda daripada suatu predikat atau suatu atribut
dan dengan demikian tidak dapat dibenarkan sebagai predikat atau atribut Tuhan.
Suatu definisi tentang Tuhan itu hanya menguraikan konsep seseorang tentang
Tuhan tetapi tidak dapat membuktikan keberadaan sesungguhnya, keberadaan-Nya
secara nyata.[16]
Berkaitan
dengan pandangan bahwa Tuhan itu adalah
sesuatu yang tak terbatas maka sebenarnya kita tidak boleh berkata bahwa Tuhan
itu berada (exists), karena hal ini merupakan suatu pembatasan tentang-Nya. Jadi masalah tentang
keberadaan Tuhan itu tidak dipertanyakan maupun dijawab. Demikian pandangan
Paul Tillich, seorang teolog abad XX ini. Kata Tillich selanjutnya: “Apabila
ditanyakan, hal itu merupakan suatu pertanyaan tentang sesuatu yang pada
hakikatnya adalah diatas keberadaan, dan oleh karena itu dijawabnya apakah
menolak atau mengiyakan keberadaan Tuhan maupun mengingkarinya adalah sama
ateistiknya. Tuhan itu adalah keberadaan itu sendiri, bukan suatu keberadaan. Di
dalam hal ini, tentu saja istilah “keberadaan” yang dimaksud oleh Paul Tillich adalah “keberadaan” dalam arti yang terbatas dan dalam lingkup
penciptaan. Oleh karena itu tidaklah tepat untuk mempertanyakan Sang Pencipta (Infinite
Creator, Khalik) apakah Ia mempunyai “keberadaan” maupun untuk mengiyakan
atau menolak keberadaan-Nya. Dapat disimpulkan bahwa argumentsi ontologis belum
membuktikan bahwa Tuhan itu ada.[17]
Argumen
kosmologis ini disebut juga dengan argument sebab-akibat, yang timbul dari
paham bahwa alam adalah bersiat mungkin
dan bukannya bersifat wajib dalam wujudnya. Dengan kata lain, alam adalah akibat dan setiap
akibat tentu ada sebabnya. Sebab alam lebih wajib adanya ketimbang akibat dan
sekaligus mendahului alam. Sama halnya dengan tukang kayu lebih wajib adanya
Suatu
usaha penting lainnya untuk membuktikan keberadaan Tuhan dikemukakan oleh
Thomas Aquinas (1224-1274). Ia mengajukan
lima jalan pembuktian keberadaan Tuhan. Argumentasi yang diajukan oleh
Aquinas mulia dari keadaan umum dunia sekitar kita, dengan menyatakan bahwa
tidak mungkin ada dunia dengan segala sifat-sifatnya seperti kita ketahui kalau
tidak ada suatu realita mutlak (ultimate reality) yang kita sebut Tuhan.
Kelima
argumentasi atau jalan pembuktian itu adalah:
1.
Karena
ada gerakan tertentu ada Penggerak utama, itulah Tuhan.
2.
Karena
ada sebab dan akibat, tentu ada Penyebab Pertama, itulah Tuhan.
3.
Karena
ada kemungkinan keberadaan. tentu ada Keberadaan yang Mesti (Necessary Being)
itulah Tuhan.
4.
Karena
ada derajat-derajat nilai, tentu ada Nilai yang Mutlak, itulah Tuhan.
5.
Karena
ada bukti adanya tujuan-tujuan di dalam alam, tentu ada Perencana Ilahi, itulah
Tuhan.
Argumentasi
ini sebenarnya lemah sekali karena kesimpulan yang ditarik tidak membuktikan
bahwa itu semua adalah Tuhan. Kita baru dapat menerima argumentasi ini kalau
memang kita sudah percaya bahwa Tuhan itulah segala-galanya yang Mutlak. yang
pertama dan utama.[19]
3.
Argumentasi Teleologis
Argumentasi
teleologis bermula dari pengamatan bahwa alam semesta adalah ruwet sekaligus
terrib. Sebagai salah seorang pendukung argumentasi yang asli, William Paley,[20]
mencatat, ketika kita menemukan sesuatu serupa jam, memeriksanya dan mengetahui semua bagiannya bekerja dengan
harmonis dan dalam cara yang tertib,
kita berpikir bahwa seorang mesti telah mendesainnya dan membuat jam itu. Kita tidak berpikir bahwa
objek seperti itu meloncat ke dalam eksistensi atau tumbuh di pohon. Jika kita
berpikir demikian ketika kita memperhatikan sesuatu yang begitu sederhana
seperti jam kantong, tentu saja ketika kita melihat sesuatu begitu luas dan
ruwet seperti alam semesta, masuk akal menganggap bahwa
seseorang desainer dan pembuat
yang cerdas telah menciptakannya. Satu-satunya yang bisa kita pahami yang
datang mendekati deskripsi pencipta seperti itu adalah Tuhan, karena
satu-satunya sesuatu yang mahakuasa dan mahatahu yang memiliki intelek dan akal
untuk mendesain alam semesta seperti itu.[21]
Argumentasi
teleologis ini sebenarnya sudah ada dalam kepustakaan filsafat sejak karya
Plato, Timaeus dan seterusnya. Argumentasi kelima dari Aquinas pun merupakan
argumentasi teleologis. Secara singkat dapat dikemukakan argumentasi teleologis
demikian: Oleh karena di dalam seluruh kosmos ada suatu tata tertib, suatu
harmoni, suatu tujuan, maka harus ada suatu zat yang sadar, yang menentukan
tujuan itu terlebih dahulu. Bahwa musim datang pada waktunya, tiap makhluk
mendapat pemeliharaan masing-masing dan sebagainya, menunjukkan bahwa ada Allah
yang menjadikan dan mengatur semuanya itu.
Kalau
kita teliti secara sungguh-sungguh, maka
argumentasi teleologis (telos artinya tujuan) sebenarnya juga bukan suatu
pembuktian yang logis dan konklusif. Tetap terdapat suatu loncatan argumentasi.
Seandainya memang ada yang menjadikan dan mengatur semua yang terjadi di
sekeliling kita, diseluruh kosmos ini, tidak dapat secara logis menyimpulkan
bahwa yang menjadikan dan mengatur itu semua adalah Tuhan. David Hume dalam
bukunya Dialogues Concering Natural Religion
(Bagian VIII) menguraikan kritik terhadap pembuktian teleogis ini.[22]
4.
Argumentasi Moral
Diantara
argumen-argumen tentang adanya Tuhan, argument morallah yang terpenting dan
terkuat. Argumen moral ini dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804). Menurut
Kant, argumen-argumen ontologism, kosmologis dan teleologis semuanya mempunyai
kelemahan dan tidak dapat membawa kepada keyakinan tentang adanya Tuhan.
Bahkan, beberapa filosof berpendapat
bahwa argument-argumen yang terdahulu adalah variasi saja dari argument
ontologism. Sedangkan yang lain mengatakan variasi dari argument kosmologis.
Karena itu argumen moral, demikian Kant lebih jelas dan benar-benar membawa
kepada keyakinan. Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan moral
yang tertanam dalam jiwa dan hati
sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi
perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan yang baik.[23]
Ada dua macam macam bentuk
argumentasi moral. Yang pertama, setiap orang itu mempunyai kesadaran akan
kesusilaan, kesadaran apa yang baik dan
apa yang jahat, tentulah ada yang memberikan kesadaran itulah Tuhan Allah. Yang
kedua, mengemukakan argumentasi, bahwa karena ada hukum-hukum moral secara
obyektif tentu ada Pemberian Hukum yang Ilahi (Devine Law Giver), dan
karena ada kesadaran moral maka tentu ada Tuhan yang merupaka “Suara” kesadaran
itu, atau sumber kesadaran itu. Kedua argumentasi moral tersebut tidak dapat
kita terima sebagai pembuktian adanya Tuhan, karena sekali lagi ada suatu
loncatan argumentasi.[24]
5.
Argumentasi berdasar peristiwa atau pengalaman khusus
Pada
pokoknya argumentasi ini menyatakan bahwa karena manusia dapat mengalami
peristiwa-peristiwa khusus, yang dapat berupa mukjizat ataupun jawaban atas
do’a-do’a manusia kepada Tuhan, Maka tentu Tuhan itu ada. Lain daripada itu,
argumentasi ini juga mengemukakan bahwa Tuhan pun dapat menampakkan diri secara
dramatis dalam mimpi, dalam penglihatan
(vision) baik secara mistis ataupun ekstatis. Hal ini menunjuk pada kenyataan
tentang adanya Tuhan. Namun sekali lagi kita dapat kemukakan bahwa kita tak
mungkin mendasarkan pengalaman-pengalaman
pribadi ini sebagai bukti umum akan keberadaan Ilahi, keberadaan Tuhan.
Thomas Hobbes yang skeptis itu berkata, “Apabila seseorang berkata bahwa Tuhan
telah berbicara kepadanya dalam mimpi, ini berarti tidak lain daripada bahwa ia
bermimpi Tuhan berbicara kepadanya.” (Leviathan). Meskipun sekarang
masih ada kesulitan untuk membuktikan bahwa mukjizat-mukjizat itu dapat
diterangkan secara ilmiah (sesuai hukum alam) namun bagi seorang skeptik,
argumentasi peristiwa pengalaman khusus tak dapat diterima sebagai bukti yang
konklusif tentang keberadaan Tuhan.[25]
Selain
argumentasi-argumentasi tersebut masih banyak lagi usaha pembuktian secara
filosofis tentang keberadaan Tuhan. Namun semuanya tidak dapat secara pasti
merupakan bukti logis tentang keberadaan
Tuhan. Sebaliknya kita bahkan dapat
menemukan banyak argumentasi yang menjadi dasar untuk tidak percaya kepada
adanya Tuhan, antara lain pandangan sosiologis tentang agama Emile Durkheim,
yang menyatakan bahwa Tuhan itu ciptaan
masyarakat, sebagai alat bagi masyarakat untuk menguasai pikiran dan
tingkah laku individu-individu, atau pandangan Freudian tentang kepercayaan
agama sebagai ilusi atau pertahanan mental manusia melawan ancaman-ancaman alam, dan lebih khusus lagi tantangan dari
ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mampu untuk menjelajahi manusia
sampai ke bagian-bagian yang terdalam (cara kerja otak, gene-gene dan sebagainya)
serta mampu menjelajahi bukan saja
angkasa luar dalam tata surya (galaxy) kita tetapi lebih luas dan jauh keluar
dari tata surya.
Bahkan secara
sederhana, masalah adanya kejahatan atau dosa (evil, sin) dapat
menjadikan suatu masalah yang besar apabila kita mencoba menghubungkannya
dengan Tuhan Maha Pengasih, Tuhan Maha Pencipta, Tuhan Maha Penyayang dan
Pemurah dan sebagainya. Secara filosofis kita juga menemui aliran-aliran yang
menganggap bahwa pernyataan-pernyataan, atau statement atau proposisi-proposisi
tentang Tuhan adalah pernyataan atau proposisi yang nirarki (tak bermakna atau
meaningless). Aliran positivism logis atau empirisme logis yang dikembangkan
oleh Lingkungan Wina (Vienna Circle) pada tahun 1920-an menolak
metafisika pada umumya. Proposisi atau pernyataan-pernyataan hanya
dianggap penuh arti (meaningfull)
kalau secara prinsip dapat dibuktikan atau diverifikasi secara empiris.
pernyataan bahwa “Tuhan itu ada”, tidak
dapat memenuhi kriteria verifikasi empiris ini sehingga dianggap nirarti).[26]
Demikianlah kita telah lihat bahwa
filsafat ketuhanan yang merupakan bagian daripada filsafat agama khususnya dan
filsafat pada umumnya tidak mampu membawa kepada suatu pemahaman religious
tentang Tuhan, apalagi membawa kepada suatu sikap religius terhadap Tuhan.
Titik tolak filsafat ketuhanan dipandang dari segi seperti dikemukakan diatas
memang tidak harus berdasar pada suatu keyakinan agama tertentu maupun keyakinan agama pada umumnya. Secara
tegas dapat saya kemukakan, bahwa filsafat ketuhanan bukanlah suatu cara bagi
manusia untuk mengenal akan Penciptanya atau Khaliknya. Melalui filsafat ketuhanan manusia tidak akan sampai
kepada pengenalan dan keyakinan akan Tuhan,
bahkan sebaliknya hanya akan
sampai kepada suatu kemutadan
atau suatu penolakan akan Tuhan sebagai Khalik. Apakah dengan demikian berarti
filsafat ketuhanan itu tidak ada gunanya kita pelajari ? Sebagai orang yang
beragama, berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, apakah kita patut
mempelajari filsafat ketuhanan khususnya dan filsafat pada umumnya ? Apakah
tidak sebaiknya kita tinggalkan filsafat ketuhanan dan kita pelajari
teologi saja.[27]
C.
Kesimpulan
Argumen
ontologis bagi eksistensi Tuhan berupaya menunjukkan bahwa Tuhan harus ada
karena konsep ketiadaan Tuhan berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Keberatan
utama untuk argumentasi ini adalah ia melompat dari kebenaran tentang konsep
kepada kebenaran mengenali eksistensi yang nyata.
Argumen
kosmologis berupaya menunjukkan Tuhan harus ada karena alam semesta menuntut
sebab pertama yang tidak bersebab. Para kritikus menegaskan bahwa kita tidak
memiliki alasan untuk mengira sebab seperti itu penting dan sekalipun penting,
tidaklah jelas mengapa kita harus mengira sebab ini adalah Tuhan.
Argumentasi
teleologis menyatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah penjelasan terbaik bagi
tingkat ketertiban yang tinggi yang kita lihat di alam semesta. para kritikus
mengatakan bahwa tak ada bukti ketertiban ini adalah produk dari desain
rasional dan bahwa ia bisa dijelaskan melalui fisika dan teori evolusi.
Argumen
moral yang di perkenalkan Immanuel Kant, menurutnya argumen-argumen ontologis,
kosmologis dan teleologis semuanya mempunyai kelemahan dan tidak dapat membawa
kepada keyakinan tentang adanya Tuhan. Diantara argumen-argumen tentang adanya
Tuhan, argument morallah yang terpenting dan terkuat.
Daftar Bacaan
Asy’arie,
Musa Islam.
Kebebasan dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga
Rampai Filsafat. Jakarta: Sinar Harapan. 1986.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
1999.
Baggini, Julian. Lima Tema Utama Filsafat: Filsafat Pengetahuan,
Filsafat
Moral, Filsafat
Agama, Filsafat Pikiran dan Filsafat Politik. Jakarta: Teraju Mizan. 2004.
Nasution, Harun. Islam diTinjau dari Beberapa Aspeknya
Jilid I. Jakarta: UI
Press. 2011.
[1] Dalam novelnya
1984 George Orwell memasang tokoh Saudara Tua (Big Brother). Tafsirannya bisa
juga orang bisa juga sistem, yang selalu mengawasi apa pun yang kita katakana,
tulis, dengar, atau perbuat. Menurut penulis buku ini, karakteristik Saudara
Tua mirip sekali dengan karakteristik Tuhan.
[2] Julian
Baggini, Lima Tema Utama Filsafat: Filsafat Pengetahuan, Filsafat Moral,
Filsafat Agama, Filsafat Pikiran dan Filsafat Politik, (Jakarta: Teraju
Mizan, 2004), hal. 145.
[3] Klandestin
secara rahasia, secara gelap atau secara diam-diam.
[4] Musa Asy’arie,
Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga Rampai Filsafat,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 89.
[5]
Julian Baggini,
Lima Tema Utama Filsafat… hal. 154.
[6] Musa Asy’arie,
Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 89.
[7] Ibid,
89-90.
[8] Harun
Nasution, Islam diTinjau dari Beberapa Aspeknya Jilid I, (Jakarta: UI
Press, 2011), hal. 3-8.
[9] Argumen
ontologis dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan teoi ideanya. Menurutnya,
tiap-tiap yang ada di alam mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea ialah
definisi atau konsep universal dari sesuatu. Manusia mempunyai idea, idea
manusia adalah badan hidup dan yang mampu berpikir. Dengan kata lain, idea manusia ialah daya berpikir.
Konsep daya berpikir bersifat universal,
berlaku untuk seluruh manusia besar kecil, tua muda, laki-laki, perempuan,
manusia Eropa, Cina dan sebagainya.
Dikutip dari buku Filsafat Agama karangan Amsal Bakhtiar.
[10] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 169.
[11] Musa Asy’arie,
Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 90.
[12] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama… hal. 170.
[13] Musa Asy’arie,
Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 90-91.
[14] Ibid,
91-92.
[15] Ibid.
92.
[16] Ibid,
92-93.
[17] Ibid,
93.
[18] Argumen
kosmologis ini merupakan argument tua sekali, sebagaimana halnya dengan
argument ontologis. Argumen kosmologis
ini berasal dari Aristoteles (384-322 SM).
[19]
Musa Asy’arie, Islam,
Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 93-94.
[20] William Paley
(1743-1805), seorang teolog berasal dari Inggris.
[21] Julian
Baggini, Lima Tema Utama Filsafat ….. hal. 165.
[22] Ibid,
94-95.
[23]
Amsal Bakhtiar,
Filsafat Agama… hal. 188-189.
[24] Musa Asy’arie,
Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 95.
[25] Ibid,
95-96.
[26] Ibid,
96.
[27] Ibid,
96-97.

Price of titanium art - Vitanium Arts
BalasHapusA titanium quartz meaning gold or silver glass, titanium is raft titanium made from bronze. The sculpture is titanium dioxide crafted from titanium mens rings bronze, silver, and copper alloy. It has a cobalt vs titanium drill bits bronze