Breaking News
Loading...
Selasa, 25 Oktober 2016

Argumen-argumen tentang Tuhan

Argumen-argumen tentang Tuhan
A.    Pendahuluan
Dalam pembahasan yang akan didikusikan dalam pembahasan  ini ialah tentang argumentasi-argumentasi  tentang Tuhan. Sebelum itu, sedikit penulis menguraikan tentang apa yang kita maksud dengan Tuhan ?.
      Dalam tradisi Judea-Kristen Tuhan biasanya dicirikan oleh apa yang biasa kita sebut sebagai “tiga omni”, omni menjadi awalan yang bermakna “maha”.  Pertama, Tuhan itu omnipotent atau mahakuasa. Ini berarti Tuhan bisa melakukan  segalanya. Kedua, Tuhan diterima sebagai omnibenevolent atau mahakasih. Dalam kalimat pujian yang  masyhur “Tuhan adalah  Cinta”. Karena  itu tidak ada batas bagi  kasih Tuhan. Tuhan tidak akan mengizinkan siapapun  untuk menderita karena itu diluar cinta. Ketiga, Tuhan diterima sebagai omniscient atau mahatahu. Tidak seorang pun bisa bersembunyi  dari Tuhan karena Tuhan bisa melihat segalanya dan mengetahui segalanya, termasuk pikiran anda yang paling  mendalam, paling pribadi. Tuhan adalah Saudara Tua[1] yang pokok.[2]
Selanjutnya mempertanyakan persoalan tentang keberadaan atau eksistensi Tuhan bagi orang beriman dapat dianggap sebagai suatu perbuatan  yang tercela. “Apakah tuhan itu ada ?” adalah suatu pertanyaan  yang kita anggap hanya patut dikemukakan  oleh orang ateis atau agnostic, orang tak beriman atau oleh skeptik saja, bukan oleh orang beriman atau kepercayaan kepada Tuhan YangMaha Esa. Kenyataan membuktikan bahwa banyak  juga orang beriman yang dalam keadaan tertentu (dirundung malang, mengalami penderitaan yang berat bertubi-tubi, kecewa dalam hidup dan sebagainya) baik secara terbuka atau dalam hati mengajukan pertanyaan ini sebagai suatu pertanyaan yang esksistensial. Demikian juga banyak para ilmuwan dan kaum intelektual baik secara terus terang ataupun secara klandestin[3] mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan.[4]
Seperti yang ditawarkan oleh Blaise Pascal (1632-1662) menawarkan satu jenis argumentasi yang sangat berbeda yang berusaha untuk membenarkan kepercayaan pada Tuhan dalam ketiadaan bukti atau bukti yang meyakinkan. Argumentasinya dikenal sebagai “Taruhan Pascal” (Pascal’s Wager), karena  ia  berupaya menunjukkan bahwa percaya pada Tuhan seperti memasang taruhan, anda bodoh jika tidak melakukannya. Dasar argumentasinya adalah kita memiliki dua kemungkinan: Tuhan ada atau Tuhan tidak ada.[5]
Bagi rohaniawan ataupun teolog, pertanyaan itu entah dari manapun (siapapun) datangnya, tidak perlu dirisaukan, sebab konsep tentang Tuhan itu memang problematic secara filosofis, maupun secara agamani, khususnya bagi pandangan yang monoteistik. Istilah yang sering dipakai dalam pembicaraan tentang kepercayaan kepada Tuhan biasanya diambil dari istilah bahasa Yunani theos (berarti Allah) atau dari bahasa latin dues yang juga berarti Allah. Ateisme adalah suatu kepercayaan atau aliran pandangan yang  menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Agnotisisme adalah suatu aliran pandangan yang menganggap bahwa tidak ada cukup alasan atau bukti untuk mengakui  ataupun menolak keberadaan Tuhan. Deisme adalah aliran pandangan yang mengakui adanya Tuhan yang pada waktu yang lampau menggerakkan dunia (universe) ini dan telah meninggalkannya (universe) sehingga dunia itu bergerak sendiri dengan hukum-hukum alamnya.[6]
Teisme adalah  aliran pandangan yang secara tegas percaya akan adanya Tuhan (deity), yang pada umumnya berarti percaya pada Tuhan yang  bersifat personal. Politeisme adalah aliran pandangan yang pada umumnya terdapat dikalangan  orang-orang primitive, yang percaya  adanya banyak ilah/dewa-dewa pribadi yang masing-masing menguasai bidang hidup tertentu (misalnya dalam Pantheon Yunani: Poseidon adalah dewa laut, Ares adalah dewa perang, Aphrodite adalah dewa cinta dan sebagainya).
Henoteisme adalah aliran pandangan yang mempercayai adanya banyak ilah/dewa-dewa tetapi masing-masing pemeluknya membatasi kesetiannya pada satu ilah/dewa tertentu, biasanya dewa suku bangsanya. Panteisme adalah kepercayaan atau aliran pandangan yang menganggap bahwa Tuhan itu identik dengan alam atau dunia secara keseluruhan. Monoteisme adalah aliran pandangan atau kepercayaan bahwa hanya ada satu Tuhan saja (satu Supreme Being) yang  bersifat  personal (pribadi), yang menuntut kesetiaan mutlak dari makhluk  umatnya. Dialah Sang Pencipta, Sang Khalik yang mempunyai sifat-sifat ilahi yang superlatif.[7]
Untuk lebih memahami masalah ini, kita rujuk kepada buku IDBA Jilid I, bahwa dalam buku ini dijelaskan ada agama yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh  masyarakat yang meninggalkan fase keprimitian. Agama-agama yang terdapat dalam masyarkat primitif ialah dinamisme, animisme dan politeisme atau henoteisme sedangkan dalam masyarakat yang sudah maju agama yang dianut ialah monoteisme.[8]
B.     Pembahasan
Dalam filsafat Ketuhanan yang menjadi pokok permasalahan adalah konsep tentang Tuhan ini, khususnya konsep tentang Tuhan dari aliran monoteisme. Persoalan pokoknya adalah tentang keberadaan  atau eksistensi Tuhan. Apakah buktinya kalau Tuhan itu ada ?
Berikut ini beberapa argumentasi filosofis yang pernah dikemukakan sebagai usaha pembuktian tentang keberadaan eksistensi Tuhan Allah.
1.      Argumentasi Ontologis[9]
            Dalam filsafat, khususnya filsafat agama mengajukan beberapa argument atau dalil tentang adanya Tuhan. Salah satu diantara argumen-argumen tradisionil yang diberikan filsafat agama ialah  argument ontologis (ontos, sesuatu yang berwujud, ontologi, teori/ ilmu tentang wujud tentang hakikat yang ada). Argumen tentang ontologis tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi argumen ini berdasarkan pada logika semata-mata.[10]
Argumentasi ontologis bertitik tolak dari pandangan  bahwa menurut kenyataan, tiap-tiap orang  mempunyai pengertian  tentang Tuhan. Oleh karena itu Tuhan pasti ada. Hal  ini dikemukakan oleh Plato, menurut Plato segala sesuatu yang ada dalam realita atau kenyataan di dunia ini sebenarnya telah ada lebih dulu dalam pengertian atau dalam  dunia  ide. Realita dalam dunia nyata itu benar karena sesuai dengan  ide yang terdapat di dalam dunia ide. Ada ide yang mutlak, yaitu  ide yang merangkum segala ide. Ide yang mutlak itua  dalah Tuhan. Oleh karena itu mempunyai realita  dalam dunia  kenyataan, tentu ide yang  mutlak itu pun mempunyai realita dalam dunia  nyata.[11]
Idea-idea bukan berarti terpisah,  tanpa ada hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi semuanya bersatu dalam sebuah idea tertinggi yang diberi nama idea kebaikan atau The Absolute Good, yaitu Yang Mutlak Baik. Yang Mutlak Baik itu adalah  sumber, tujuan dan sebab dari segala yang ada. Yang Mutlak Baik itu disebut juga Tuhan. Dengan teori idea ini Plato mencoba untuk membuktikan bahwa alam bersumber pada sesuatu yang gaib yang bernama The Absolute Good atau yang Mutlak Baik.[12]
Pada zaman pertengahan, seorang teolog terkemuka Anselmus (1033-1109) mengemukakan  pendapat bahwa Tuhan itu “adalah sesuatu (Being) yang terbesar (paling sempurna) dan tidak ada yang melebihi kebesaran atau kesempurnaanya”. Artinya tidak ada sesuatu yang dapat dipikirkan yang lebih sempurna dari Tuhan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa ada dua macam keberadaan (eksistensi),  yaitu keberadaan hanya dalam pikiran dan keberadaan secara nyata atau dalam  realita.  Ada sesuatu yang hanya mempunyai  keberadaan dalam pikiran, ada sesuatu yang sekaligus juga mempunyai keberadaan dalam realita di samping keberadaan dalam pikiran. Kalau Tuhan itu hanya ada dalam pikiran saja dan tidak mempunyai keberadaan dalam realita, maka itu berarti ada sesuatu yang lebih sempurna dari Tuhan dan itu tidak mungkin. Jadi,  Tuhan itu pasti ada (mempunyai eksistensi). Selain itu, Anselmus juga mengemukakan pendapat bahwa Tuhan itu tidak saja mempunyai eksistensi tetapi Tuhan itu sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dapat dipikirkan  bahwa Ia itu tidak ada (tidak eksist).
Argumentasinya demikian. Karena Tuhan didalam kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu tidak dibatasi dalam atau oleh waktu maka kemungkinan bahwa Ia itu “pernah menjadi ada” dan bahwa Ia “akan Pernah berhenti dari keberadaan” itu ditiadakan. Demikian juga ketidakberadaan-Nya (non-existence) itu tidak mungkin. Tuhan itu berada pada diri-Nya sendiri (self exixtence atau a se esse).[13]
Jadi, sesungguhnya “sesuatu yang paling sempurna dan tidak ada sesuatu yang lebih sempurna dari pada-Nya dapat dipikirkan, tetapi tidak dapat dipikirkan sebagai tidak ada (not existing). Kelamahan dari pandangan ini terlatak pada asumsi pertamanya, yaitu bahwa Tuhan itu adalah sesuatu yang paling sempurna yang tidak ada  sesuatu yang lebih  sempurna daripadanya dapat dipikirkan. Hal ini belum dan tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian argumentasi ontologis ini bukanlah suatu pembuktian tentang keberadaan Tuhan. Kita harus mau menerima asumsi pertamanya  dulu baru dapat menerima argumentasi selanjutnya. Jadi, kita harus mau menerima definisi Tuhan sedemikian itu sebelum kita dapat menerima argumentasi lanjutannya. Pembuktian  semacam ini tidak  dapat meyakinkan  orang ateis tetapi  hanya dapat memperdalam pengertian orang yang memang sudah  percaya bahwa Tuhan itu ada dan  Tuhan itu paling sempurna dan  sebagainya.[14]
Argumentasi lain yang dikemukakan Oleh Rene Descartes. Ia menyatakan bahwa ide keberadaan (eksistensi) itu secara analitis tercakup dalam konsep tentang Tuhan. “keberadaan’’ itu merupakan suatu  predikat (atribut) Tuhan, sebagaimana mempunyai tiga sudut itu adalah predikat (atribut) dari  suatu segi tiga. Secara analitis, mempunyai tiga sudut itu adalah bagian dari konsep (pengertian) segi  tiga. Dengan demikian predikat atau atribut itu merupakan bagian mutlak dari definisi suatu konsep. Keberadaan adalah  bagian dari definisi tentang Tuhan. Jadi Tuhan itu  tentu mempunyai eksistensi. Tuhan itu ada pandangan sedemikian itu dibantah oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa memang benar apa yang secara analitis itu betul adalah apabila memag ada segi tiga, maka tentu mempunyai tiga sudut dan apabila ada sesuatu  yang sempurna tak terbatas, tentu sesuatu itu mempunyai eksistensi. Selanjutnya  Kant mengatakan bahwa kalau kita mengakui adanya suatu segi tiga tetapi menolak bahwa segi tiga itu mempunyai  tiga sudut, itu berarti suatu pertentangan  diri (self contradiction).  Tetapi kalau kita menolak keberadaan segi tiga dan sekaligus menolak ketiga sudutnya,  maka tidak ada pertentangan diri.[15]
Demikian juga halnya dengan konsep tentang sesuatu yang secara mutlak harus ada (absolutely necessary being). Yang dimasud di sini ialah konsep tentang Tuhan sebagai sesuatu yang secara mutlak harus ada. Kalau keberadaan (eksistensi) itu merupakan predikat atau atribut yang dapat dimasukkan sebagai bagian dari definisi tentang Tuhan seperti dikemukakan oleh Anselmus maupun Descartes maka argumentasi ontologism ini sah (valid). Namun keberadaan (eksistensi) itu mempunyai fungsi logis yang berbeda daripada suatu predikat atau suatu atribut dan dengan demikian tidak dapat dibenarkan sebagai predikat atau atribut Tuhan. Suatu definisi tentang Tuhan itu hanya menguraikan konsep seseorang tentang Tuhan tetapi tidak dapat membuktikan keberadaan sesungguhnya, keberadaan-Nya secara nyata.[16]
Berkaitan dengan  pandangan bahwa Tuhan itu adalah sesuatu yang tak terbatas maka sebenarnya kita tidak boleh berkata bahwa Tuhan itu berada (exists), karena hal ini merupakan suatu  pembatasan tentang-Nya. Jadi masalah tentang keberadaan Tuhan itu tidak dipertanyakan maupun dijawab. Demikian pandangan Paul Tillich, seorang teolog abad XX ini. Kata Tillich selanjutnya: “Apabila ditanyakan, hal itu merupakan suatu pertanyaan tentang sesuatu yang pada hakikatnya adalah diatas keberadaan, dan oleh karena itu dijawabnya apakah menolak atau mengiyakan keberadaan Tuhan maupun mengingkarinya adalah sama ateistiknya. Tuhan itu adalah keberadaan itu sendiri, bukan suatu keberadaan. Di dalam hal ini, tentu saja istilah “keberadaan” yang dimaksud oleh  Paul Tillich adalah “keberadaan” dalam  arti yang terbatas dan dalam lingkup penciptaan. Oleh karena itu tidaklah tepat untuk mempertanyakan Sang Pencipta (Infinite Creator, Khalik) apakah Ia mempunyai “keberadaan” maupun untuk mengiyakan atau menolak keberadaan-Nya. Dapat disimpulkan bahwa argumentsi ontologis belum membuktikan bahwa Tuhan itu  ada.[17]
2.      Argumentasi Kosmologis[18] atau Penyebab Pertama
            Argumen kosmologis ini disebut juga dengan argument sebab-akibat, yang timbul dari paham  bahwa alam adalah bersiat mungkin dan bukannya bersifat wajib dalam wujudnya. Dengan  kata lain, alam adalah akibat dan setiap akibat tentu ada sebabnya. Sebab alam lebih wajib adanya ketimbang akibat dan sekaligus mendahului alam. Sama halnya dengan tukang kayu lebih wajib  adanya
Suatu usaha penting lainnya untuk membuktikan keberadaan Tuhan dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1224-1274). Ia mengajukan  lima jalan pembuktian keberadaan Tuhan. Argumentasi yang diajukan oleh Aquinas mulia dari keadaan umum dunia sekitar kita, dengan menyatakan bahwa tidak mungkin ada dunia dengan segala sifat-sifatnya seperti kita ketahui kalau tidak ada suatu realita mutlak (ultimate reality) yang kita sebut Tuhan.
Kelima argumentasi atau jalan pembuktian itu adalah:
1.      Karena ada gerakan tertentu ada Penggerak utama, itulah Tuhan.
2.      Karena ada sebab dan akibat, tentu ada Penyebab Pertama, itulah Tuhan.
3.      Karena ada kemungkinan keberadaan. tentu ada Keberadaan yang Mesti (Necessary Being) itulah Tuhan.
4.      Karena ada derajat-derajat nilai, tentu ada Nilai yang Mutlak, itulah Tuhan.
5.      Karena ada bukti adanya tujuan-tujuan di dalam alam, tentu ada Perencana Ilahi, itulah Tuhan.
Argumentasi ini sebenarnya lemah sekali karena kesimpulan yang ditarik tidak membuktikan bahwa itu semua adalah Tuhan. Kita baru dapat menerima argumentasi ini kalau memang kita sudah percaya bahwa Tuhan itulah segala-galanya yang Mutlak. yang pertama dan  utama.[19]
3.      Argumentasi Teleologis
Argumentasi teleologis bermula dari pengamatan bahwa alam semesta adalah ruwet sekaligus terrib. Sebagai salah seorang pendukung argumentasi yang asli, William Paley,[20] mencatat, ketika kita menemukan sesuatu serupa jam, memeriksanya dan  mengetahui semua bagiannya bekerja dengan harmonis dan  dalam cara yang tertib, kita berpikir bahwa seorang mesti telah mendesainnya dan  membuat jam itu. Kita tidak berpikir bahwa objek seperti itu meloncat ke dalam eksistensi atau tumbuh di pohon. Jika kita berpikir demikian ketika kita memperhatikan sesuatu yang begitu sederhana seperti jam kantong, tentu saja ketika kita melihat sesuatu begitu luas dan ruwet seperti alam semesta, masuk akal menganggap  bahwa  seseorang  desainer dan pembuat yang cerdas telah menciptakannya. Satu-satunya yang bisa kita pahami yang datang mendekati deskripsi pencipta seperti itu adalah Tuhan, karena satu-satunya sesuatu yang mahakuasa dan mahatahu yang memiliki intelek dan akal untuk mendesain alam semesta seperti itu.[21]
Argumentasi teleologis ini sebenarnya sudah ada dalam kepustakaan filsafat sejak karya Plato, Timaeus dan seterusnya. Argumentasi kelima dari Aquinas pun merupakan argumentasi teleologis. Secara singkat dapat dikemukakan argumentasi teleologis demikian: Oleh karena di dalam seluruh kosmos ada suatu tata tertib, suatu harmoni, suatu tujuan, maka harus ada suatu zat yang sadar, yang menentukan tujuan itu terlebih dahulu. Bahwa musim datang pada waktunya, tiap makhluk mendapat pemeliharaan masing-masing dan sebagainya, menunjukkan bahwa ada Allah yang menjadikan dan mengatur semuanya itu.
Kalau kita teliti secara sungguh-sungguh,  maka argumentasi teleologis (telos artinya tujuan) sebenarnya juga bukan suatu pembuktian yang logis dan konklusif. Tetap terdapat suatu loncatan argumentasi. Seandainya memang ada yang menjadikan dan mengatur semua yang terjadi di sekeliling kita, diseluruh kosmos ini, tidak dapat secara logis menyimpulkan bahwa yang menjadikan dan mengatur itu semua adalah Tuhan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concering Natural Religion  (Bagian VIII) menguraikan kritik terhadap pembuktian teleogis ini.[22]
4.      Argumentasi Moral
            Diantara argumen-argumen tentang adanya Tuhan, argument morallah yang terpenting dan terkuat. Argumen moral ini dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, argumen-argumen ontologism, kosmologis dan teleologis semuanya mempunyai kelemahan dan tidak dapat membawa kepada keyakinan tentang adanya Tuhan. Bahkan,  beberapa filosof berpendapat bahwa argument-argumen yang terdahulu adalah variasi saja dari argument ontologism. Sedangkan yang lain mengatakan variasi dari argument kosmologis. Karena itu argumen moral, demikian Kant lebih jelas dan benar-benar membawa kepada keyakinan. Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang  tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan yang baik.[23]
            Ada dua macam macam bentuk argumentasi moral. Yang pertama, setiap orang itu mempunyai kesadaran akan kesusilaan,  kesadaran apa yang baik dan apa yang jahat, tentulah ada yang memberikan kesadaran itulah Tuhan Allah. Yang kedua, mengemukakan argumentasi, bahwa karena ada hukum-hukum moral secara obyektif tentu ada Pemberian Hukum yang Ilahi (Devine Law Giver), dan karena ada kesadaran moral maka tentu ada Tuhan yang merupaka “Suara” kesadaran itu, atau sumber kesadaran itu. Kedua argumentasi moral tersebut tidak dapat kita terima sebagai pembuktian adanya Tuhan, karena sekali lagi ada suatu loncatan argumentasi.[24]
5.      Argumentasi berdasar peristiwa atau pengalaman khusus
Pada pokoknya argumentasi ini menyatakan bahwa karena manusia dapat mengalami peristiwa-peristiwa khusus, yang dapat berupa mukjizat ataupun jawaban atas do’a-do’a manusia kepada Tuhan, Maka tentu Tuhan itu ada. Lain daripada itu, argumentasi ini juga mengemukakan bahwa Tuhan pun dapat menampakkan diri secara dramatis dalam  mimpi, dalam penglihatan (vision) baik secara mistis ataupun ekstatis. Hal ini menunjuk pada kenyataan tentang adanya Tuhan. Namun sekali lagi kita dapat kemukakan bahwa kita tak mungkin mendasarkan pengalaman-pengalaman  pribadi ini sebagai bukti umum akan keberadaan Ilahi, keberadaan Tuhan. Thomas Hobbes yang skeptis itu berkata, “Apabila seseorang berkata bahwa Tuhan telah berbicara kepadanya dalam mimpi, ini berarti tidak lain daripada bahwa ia bermimpi Tuhan berbicara kepadanya.” (Leviathan). Meskipun sekarang masih ada kesulitan untuk membuktikan bahwa mukjizat-mukjizat itu dapat diterangkan secara ilmiah (sesuai hukum alam) namun bagi seorang skeptik, argumentasi peristiwa pengalaman khusus tak dapat diterima sebagai bukti yang konklusif tentang keberadaan Tuhan.[25]
Selain argumentasi-argumentasi tersebut masih banyak lagi usaha pembuktian secara filosofis tentang keberadaan Tuhan. Namun semuanya tidak dapat secara pasti merupakan  bukti logis tentang keberadaan Tuhan.  Sebaliknya kita bahkan dapat menemukan banyak argumentasi yang menjadi dasar untuk tidak percaya kepada adanya Tuhan, antara lain pandangan sosiologis tentang agama Emile Durkheim, yang menyatakan bahwa Tuhan itu ciptaan  masyarakat, sebagai alat bagi masyarakat untuk menguasai pikiran dan tingkah laku individu-individu, atau pandangan Freudian tentang kepercayaan agama sebagai ilusi atau pertahanan mental manusia melawan ancaman-ancaman  alam, dan lebih khusus lagi tantangan dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mampu untuk menjelajahi manusia sampai ke bagian-bagian yang terdalam (cara kerja otak, gene-gene dan sebagainya) serta mampu menjelajahi bukan  saja angkasa luar dalam tata surya (galaxy) kita tetapi lebih luas dan jauh keluar dari tata surya.
Bahkan secara sederhana, masalah adanya kejahatan atau dosa (evil, sin) dapat menjadikan suatu masalah yang besar apabila kita mencoba menghubungkannya dengan Tuhan Maha Pengasih, Tuhan Maha Pencipta, Tuhan Maha Penyayang dan Pemurah dan sebagainya. Secara filosofis kita juga menemui aliran-aliran yang menganggap bahwa pernyataan-pernyataan, atau statement atau proposisi-proposisi tentang Tuhan adalah pernyataan atau proposisi yang nirarki (tak bermakna atau meaningless). Aliran positivism logis atau empirisme logis yang dikembangkan oleh Lingkungan Wina (Vienna Circle) pada tahun 1920-an menolak metafisika pada umumya. Proposisi atau pernyataan-pernyataan hanya dianggap  penuh arti (meaningfull) kalau secara prinsip dapat dibuktikan atau diverifikasi secara empiris. pernyataan bahwa “Tuhan itu  ada”, tidak dapat memenuhi kriteria verifikasi empiris ini sehingga dianggap nirarti).[26]
            Demikianlah kita telah lihat bahwa filsafat ketuhanan yang merupakan bagian daripada filsafat agama khususnya dan filsafat pada umumnya tidak mampu membawa kepada suatu pemahaman religious tentang Tuhan, apalagi membawa kepada suatu sikap religius terhadap Tuhan. Titik tolak filsafat ketuhanan dipandang dari segi seperti dikemukakan diatas memang tidak harus berdasar pada suatu keyakinan agama tertentu  maupun keyakinan agama pada umumnya. Secara tegas dapat saya kemukakan, bahwa filsafat ketuhanan bukanlah suatu cara bagi manusia untuk mengenal akan Penciptanya atau Khaliknya. Melalui  filsafat ketuhanan manusia tidak akan sampai kepada pengenalan dan keyakinan akan Tuhan,  bahkan sebaliknya hanya akan  sampai  kepada suatu kemutadan atau suatu penolakan akan Tuhan sebagai Khalik. Apakah dengan demikian berarti filsafat ketuhanan itu tidak ada gunanya kita pelajari ? Sebagai orang yang beragama, berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, apakah kita patut mempelajari filsafat ketuhanan khususnya dan filsafat pada umumnya ? Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan filsafat ketuhanan dan kita pelajari teologi  saja.[27]
C.    Kesimpulan
Argumen ontologis bagi eksistensi Tuhan berupaya menunjukkan bahwa Tuhan harus ada karena konsep ketiadaan Tuhan berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Keberatan utama untuk argumentasi ini adalah ia melompat dari kebenaran tentang konsep kepada kebenaran mengenali eksistensi yang nyata.
Argumen kosmologis berupaya menunjukkan Tuhan harus ada karena alam semesta menuntut sebab pertama yang tidak bersebab. Para kritikus menegaskan bahwa kita tidak memiliki alasan untuk mengira sebab seperti itu penting dan sekalipun penting, tidaklah jelas mengapa kita harus mengira sebab ini adalah Tuhan.
Argumentasi teleologis menyatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah penjelasan terbaik bagi tingkat ketertiban yang tinggi yang kita lihat di alam semesta. para kritikus mengatakan bahwa tak ada bukti ketertiban ini adalah produk dari desain rasional dan bahwa ia bisa dijelaskan melalui fisika dan teori evolusi.
Argumen moral yang di perkenalkan Immanuel Kant, menurutnya argumen-argumen ontologis, kosmologis dan teleologis semuanya mempunyai kelemahan dan tidak dapat membawa kepada keyakinan tentang adanya Tuhan. Diantara argumen-argumen tentang adanya Tuhan, argument morallah yang terpenting dan terkuat.
Daftar Bacaan

Asy’arie, Musa Islam. Kebebasan dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga
Rampai Filsafat. Jakarta: Sinar Harapan. 1986.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Baggini, Julian. Lima Tema Utama Filsafat: Filsafat Pengetahuan, Filsafat
Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran dan Filsafat Politik. Jakarta: Teraju Mizan. 2004.
Nasution, Harun. Islam diTinjau dari Beberapa Aspeknya Jilid I. Jakarta: UI
Press. 2011.








[1] Dalam novelnya 1984 George Orwell memasang tokoh Saudara Tua (Big Brother). Tafsirannya bisa juga orang bisa juga sistem, yang selalu mengawasi apa pun yang kita katakana, tulis, dengar, atau perbuat. Menurut penulis buku ini, karakteristik Saudara Tua mirip sekali dengan karakteristik Tuhan.
[2] Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat: Filsafat Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran dan Filsafat Politik, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004),  hal. 145.
[3] Klandestin secara rahasia, secara gelap atau secara diam-diam.
[4] Musa Asy’arie, Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga Rampai Filsafat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 89.
[5] Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat… hal. 154.
[6] Musa Asy’arie, Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 89.
[7] Ibid, 89-90.
[8] Harun Nasution, Islam diTinjau dari Beberapa Aspeknya Jilid I, (Jakarta: UI Press, 2011), hal. 3-8.
[9] Argumen ontologis dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan teoi ideanya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea ialah definisi atau konsep universal dari sesuatu. Manusia mempunyai idea, idea manusia adalah badan hidup dan yang mampu berpikir. Dengan  kata lain, idea manusia ialah daya berpikir. Konsep  daya berpikir bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar kecil, tua muda, laki-laki, perempuan, manusia Eropa, Cina dan  sebagainya. Dikutip dari buku Filsafat Agama karangan Amsal Bakhtiar.
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 169.
[11] Musa Asy’arie, Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 90.
[12] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama… hal. 170.
[13] Musa Asy’arie, Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 90-91.
[14] Ibid, 91-92.
[15] Ibid. 92.
[16] Ibid, 92-93.
[17] Ibid, 93.
[18] Argumen kosmologis ini merupakan argument tua sekali, sebagaimana halnya dengan argument ontologis.  Argumen kosmologis ini berasal dari Aristoteles (384-322 SM).
[19] Musa Asy’arie, Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 93-94.
[20] William Paley (1743-1805), seorang teolog berasal dari Inggris.
[21] Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat ….. hal. 165.
[22] Ibid, 94-95.
[23] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama… hal. 188-189.
[24] Musa Asy’arie, Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial… hal. 95.
[25] Ibid, 95-96.
[26] Ibid, 96.
[27] Ibid, 96-97.
Next
This is the most recent post.
Previous
This is the last post.

1 komentar:

  1. Price of titanium art - Vitanium Arts
    A titanium quartz meaning gold or silver glass, titanium is raft titanium made from bronze. The sculpture is titanium dioxide crafted from titanium mens rings bronze, silver, and copper alloy. It has a cobalt vs titanium drill bits bronze

    BalasHapus

Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 Filsafat Ketuhanan All Right Reserved